Dongeng Cerpen Nanoq da Kansas "CERITAKAN padaku sebuah dongeng. Apa saja," demikian pesan pendek itu tertulis dalam layar handphone-ku. Di bagian atas pesan itu tertera nama seorang gadis remaja yang belum lama ini aku kenal di suatu tempat di kotaku. Malam yang berhujan. Daun-daun riuh oleh tikaman air yang lebih meniru rupa jutaan lidi-lidi tajam yang dihempaskan begitu saja dari langit. Lensa kaca mataku tiba-tiba terasa perlu digosok. Stasiun Kereta Api Gubeng-Surabaya, tempat aku menunggu sebuah kereta berangkat ke Banyuwangi kemudian akan menyambungkan perjalananku ke Denpasar dengan bus milik perusahaan kereta itu juga, mendadak jadi sesuatu yang serba kelam, tua dan seperti telah lama sekali ditinggalkan. Apa gerangan maksud gadis remaja itu tiba-tiba meminta aku mendongeng? Aku tak segera menanggapi pesan pendek itu. Dalam gemuruh hujan yang kian deras, aku mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan kenangan saat aku mengenalnya pertama kali. *** ADA cahaya merah remang yang seperti tersipu di ruang seluas lima belas kali dua puluh meter itu. Ada denting gelas dan botol-botol soft drink bercampur bau tipis alkohol di antara alunan nomor-nomor jazz ringan yang merambat singgah ke setiap meja. Ada berbagai bau parfum yang juga merambati ruang bersama udara delapan belas derajat Celcius yang diembuskan empat buah AC di langit-langit. Ada suara-suara tawa dan gumam yang tertahan dari hampir setiap meja. Kafe, ya kafe kecil itulah yang mempertemukan kami. Laksmi. Dia sebutkan namanya sesaat sebelum kami berpisah di trotoar depan kafe. "Kenapa sampai basah begitu?" tanyanya saat aku minta izin ikut duduk di kursi kosong di depannya. "Karena hujan dan aku kehujanan. Bukankah begitu?" jawabku. "Heh," dengan spontan dia menutup mulutnya lalu menunduk. Aku yakin dia malu sekali dengan pertanyaannya yang bodoh itu. Dan di luar, hujan memang begitu deras. Aku sendiri sebenarnya sama sekali malas ke kafe itu. Tadinya, aku sebenarnya sudah begitu hangat di dalam kamarku yang kecil dengan segelas kopi susu menikmati acara televisi. Tapi begitulah, Suta, temanku yang malam itu mulai memamerkan lukisannya menelepon hingga dua kali. "Kalau kau tak datang, aku bersumpah untuk membakar seluruh katalog pameranku ini!" begitu Suta mengancam di teleponnya yang kedua. Memang, pengantar pada katalog pamerannya aku yang menulis. Aku tiba di kafe itu persis ketika prosesi pembukaan pameran selesai. Seorang kolektor dari luar kota yang sekaligus menjadi sponsor temanku itu telah membuka selubung sebuah lukisan yang disiapkan sebagai tanda pameran dibuka. Ketika aku masuk dengan tubuh dan pakaian basah (aku datang dengan sepeda motor) para undangan baru saja selesai berkeliling "menginspeksi" lukisan-lukisan yang dipamerkan di galeri persis bersebelahan dengan ruangan yang dijadikan kafe itu. Suta yang tampak sibuk menjelaskan sesuatu kepada beberapa tamu dan wartawan, sempat melihat kedatanganku. Matanya melotot hampir keluar dari kelopaknya. Tapi aku langsung ngeloyor menuju kafe yang juga sudah dipenuhi undangan lain. Karena pakaianku yang basah itulah aku mencari-cari tempat di sudut. Kebetulan meja dengan empat buah kursi di sudut itulah yang baru terisi satu orang. Tanpa pikir panjang aku langsung saja minta izin bergabung dengan gadis remaja itu. Dan ternyata dia bukanlah salah satu undangan untuk menyaksikan pembukaan pameran. Dia mengaku, memang beberapa kali sudah pernah ke situ. "Sedang menunggu seseorang," dia menjelaskan. Sementara waktu, tidak banyak yang kami obrolkan. Benar-benar tidak banyak. Karena setelah sedikit basa-basi, aku lebih banyak menyaksikan dia gelisah. Berkali-kali melihat layar handphone lalu selalu dilanjutkannya dengan melihat lurus ke pintu masuk ruang kafe. Dan aku sibuk melawan dingin dengan secangkir kapucino dan beberapa batang rokok. Sampai handphone gadis remaja itu berbunyi dan dia dengan sigap menerimanya. Sama sekali aku tak berusaha memperhatikannya. Sebagai lelaki di atas tiga puluh lima tahun, aku cukup tahu diri untuk menghargai privacy seseorang. Apalagi seorang gadis remaja. "Dia tidak jadi datang. Katanya ada urusan keluarga," tiba-tiba dia mengeluh sambil melipat handphone-nya yang mewah. Dan aku yakin dia sengaja mengeraskan suaranya agar aku mendengar. "Orang yang kamu tunggu itu?" aku bertanya sekenanya. "Memangnya siapa?" ketusnya. Aku kaget. "Yah, kadang-kadang janji memang tak mesti terpenuhi," aku berusaha ramah. "Mau tambah minum? Biar saya pesankan." "Ya. Mau." Selanjutnya agak lama kami sempat ngobrol. Agak hati-hati, dia banyak bertanya soal pekerjaanku. Herannya, dia cukup banyak tahu mengenai diriku. "Kamu cukup terkenal di kalangan anak-anak sastra di sekolahku. Mereka sering cerita, bahwa kamu dari sedikit senior yang mau peduli dengan kegiatan anak-anak sekolah," jelasnya tanpa kuminta. Aku juga sedikit jengah dengan kemantapannya menyebut aku dengan 'kamu'. Walaupun terasa akrab, tetapi rentangan jarak umur kami yang begitu jauh membuat aku merasa kikuk. Kami bertukar nomor telepon. Lalu ketika hujan reda aku mengantarnya menyetop taksi di depan kafe. *** SESUDAHNYA, beberapa kali kami sempat bertemu. Sekali di sekolahnya, di sebuah SMA negeri yang mengundangku sebagai salah satu pemateri acara workshop jurnalistik untuk siswa. Dia, Laksmi, melambai dari depan kelasnya ketika aku sedang ngobrol dengan kepala sekolah di depan kantor sekolah. Sekali pernah juga bertemu di taman kota sore hari. Waktu itu aku mendapat kesempatan dari mantan istriku untuk mengajak dua anak-anak kami yang kini kelas empat dan kelas satu sekolah dasar untuk berjalan-jalan. Aku bertemu Laksmi dengan seorang pemuda gondrong bersemir merah di dalam sebuah sedan yang diparkir di bawah pohon palem. Dia malah yang menyapa lebih dulu. "Inikah anak-anakmu?" ujarnya seraya keluar dari sedan itu. "Ya," jawabku singkat. "Sudah besar-besar ya. Kapan ke sini?" tanyanya lagi seraya mencoba menyalami kedua anakku yang terlihat bingung karena merasa tak mengenalnya. "Sudah seminggu katanya. Tapi aku baru diberi tahu ibunya siang tadi. Mari, kami mau jalan-jalan dulu," potongku cepat. Aku melihat anak muda gondrong di dalam sedan itu kurang ramah. "Hati-hati ya. Da da...," Laksmi melambaikan tangan sembari masuk lagi ke dalam sedan. Tak berapa lama berselang, aku melihatnya sekitar jam sembilan malam keluar dari dalam kafe tempat kami bertemu pertama kali. Kami tak sempat bertegur sapa. Aku yang baru datang dan memarkir motor, hanya sempat melihatnya tergesa masuk ke sebuah van warna gelap lalu melesat menembus malam. Terakhir aku melihatnya masih dengan seragam sekolah di sebuah swalayan menjelang petang. Waktu itu modem komputerku rusak sehingga aku harus ke warnet untuk mengirim hasil liputan ke kantor redaksi koran tempatku bekerja. Sepulang dari warnet aku mampir ke swalayan itu untuk membeli modem baru. Aku melihat Laksmi di etalase sepatu. Dia tampak gembira sekali melihat-lihat pajangan sepatu sehingga tak sempat melihatku. Pundaknya dipeluk oleh seseorang, lelaki setengah baya yang saat itu masih berpakaian safari kantor. Dan aku tak ingin mengganggunya. Aku secepat mungkin berbelok ke lorong lain menuju pusat barang elektronik. *** "CERITAKAN padaku sebuah dongeng. Apa saja," demikian malam ini gadis remaja itu menulis pesan pendek ke handphone-ku. Malam yang berhujan. Daun-daun riuh oleh tikaman air yang lebih meniru rupa jutaan lidi-lidi tajam yang dihempaskan begitu saja dari langit. Lensa kaca mataku tiba-tiba terasa perlu digosok. Stasiun Kereta Api Gubeng-Surabaya, tempat saat itu aku menunggu kereta berangkat ke Banyuwangi, mendadak jadi sesuatu yang serbakelam, tua, dan seperti telah lama sekali ditinggalkan. Masih juga aku belum menanggapi pesan pendek itu. Setelah merangkai kembali kepingan-kepingan kenangan perkenalan dan perjumpaan kami yang beberapa kali itu, aku masih bertanya-tanya sendiri, penasaran. Apa maksud gadis remaja itu tiba-tiba meminta aku mendongeng? Adakah ia pikir aku selama ini tukang dongeng? Ataukah dia sedang menyindir bahwa apa-apa yang aku kerjakan sebagai wartawan selama ini hanya dongeng? Aku jadi gelisah. Kalau demikian, berarti aku harus bertemu dengannya, menjelaskan bahwa semua yang menjadi berita-berita di koranku itu fakta adanya. Sama sekali bukan dongeng. Bahwa, aku bukan pendongeng. Ah, tiba-tiba dia memintaku mendongeng. Jangan-jangan dia serius dan memang ingin sekali didongengi. Tapi kenapa dia menyuruhku dan bukan orang lain? O, mungkin dia tidak punya orang lain. Setidak-tidaknya, mungkin dia tak punya kakak atau ibu atau nenek yang bisa mendongeng untuk dirinya. Baiklah, aku siapkan sebuah dongeng. Di dalam kapal saat suatu kali menyeberang di selat Bali, aku pernah membeli sebuah buku dongeng. Aku masih ingat beberapa dongeng di dalamnya dan bisa saja aku ceritakan pada gadis remaja itu sekarang. Tapi tunggu. Jangan-jangan dia benar-benar sedang menyindirku. Dengan kata yang lebih kasar, sesungguhnya dia berkata bahwa apa yang kukerjakan selama ini yang kemudian kusebut sebagai berita-berita, sebagai laporan utama, kolom, opini dan sebagainya itu baginya tidak lebih sebagai sebuah dongeng pengantar tidur. Sialan, aku tersinggung. Aku bingung. "Tapi, memang adakah yang bukan dongeng di dunia ini? Apakah yang sesungguhnya bukan dongeng?" seorang perempuan tua di sebelahku -- yang sama-sama menunggu kereta berangkat - yang dengan terpaksa aku tanyai dongeng apa yang bagus untuk seorang gadis remaja, balik bertanya. "Tentu saja banyak, Bu," jawabku hormat. "Apa misalnya?" "Hm, banyak. Banyak sekali. Misalnya...," entah kenapa aku tiba-tiba lambat sekali berpikir. "Demokrasikah? Tapi kenapa nama itu begitu abstrak dan bahkan tak pernah terasakan sedikit pun dalam kehidupan negeri yang mengaku demokratis ini? Lihatlah, partai-partai politik bermunculan menjadi alat untuk mengebiri para pendukungnya sendiri. Berbagai kelompok yang mengaku membawa suara masyarakat dan suara rakyat juga bermunculan tetapi justru saling menekan dengan kelompok lainnya. Atau barangkali yang bukan dongeng itu pemerintah? Tapi kenapa hingga saat ini banyak orang, banyak rakyat yang merasa tak pernah bisa berharap untuk sebagian kecil nasibnya saja kepada yang disebut pemerintah itu? Kenapa banyak sekali rakyat yang dikejar-kejar justru oleh mereka yang seharusnya melindunginya? Kenapa untuk sekadar bertempat tinggal, sekadar bebas berjualan saja banyak sekali rakyat yang ketakutan? Ataukah rakyat itu sendiri sebenarnya juga hanya dongeng?" "Astaga, Bu! Saya, saya hanya...." "Sebentar! Saya juga mau tanya kepada Sampean, apa yang bukan dongeng?" Perempuan tua itu bertambah ngotot. Aku mulai merasa njelimet. Hanya gara-gara bertanya dongeng apa yang bagus untuk seorang gadis remaja, seorang perempuan tua bahkan tiba-tiba menjadi begitu marah. Maka aku diam. Aku biarkan entah apa lagi yang dikatakan perempuan tua di sebelahku itu. Aku jadi teringat berbagai berita buruk yang aku tulis dan juga ditulis teman-temanku sesama wartawan di berbagai media massa. Ada yang menulis berbagai bencana, soal kemiskinan, ketakadilan, tetapi apa ya maksudnya? Adakah mereka berharap semua itu akan berubah dengan tulisan mereka? Ah, adakah hasilnya? Ada pula yang menulis soal korupsi dan penipuan besar-besaran di berbagai bank, di berbagai sumber keuangan milik negara. Adakah berita-berita mereka bisa mengembalikan uang yang telah dikorupsi itu ke tangan negara yang seharusnya menggunakannya untuk kesejahteraan bangsa? Ada yang menulis soal berbagai pembunuhan di berbagai tempat. Apa pula maksudnya? Adakah laporan-laporan mereka itu bisa menghentikan pembantaian-pembantaian itu? Tetapi kenapa setiap keesokan harinya masih saja ada pembunuhan dan pembantaian-pembantaian baru yang kembali ditulis dan diberitakan? Bahkan, kenapa dalam sebuah bangsa terus saja ada pembantaian satu sama lain yang tak kunjung henti? Kenapa sebuah bangsa bisa saling bantai dan saling melenyapkan satu sama lain? Aku makin njelimet. Kalau begini terus aku bisa mampus sendiri di tengah-tengah tertawaan orang yang melihat aku sebagai binatang aneh dengan sesuatu yang keluar menjulur-julur dari kepalaku. Maka, baiklah adik, aku dongengkan saja untukmu sesuatu yang paling sederhana: cinta! Kereta api berangkat. Maka dalam kereta yang bergemuruh merangkaki malam itu aku pun mendongengkan sebuah cinta. Aku terus mendongeng, sampai gadis remaja itu benar-benar terlelap di sebuah kamar, entah di mana. (72) Surabaya-Bali, 2004